Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa sebanyak 101 orang meninggal dunia akibat leptospirosis sepanjang Januari hingga Juni 2025. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira ini menyebar melalui urin tikus, dan cenderung meningkat saat musim hujan dan banjir.
Kemenkes juga mencatat bahwa selama enam bulan pertama tahun ini, ada 974 kasus leptospirosis yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. "Kasus tertinggi berada di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 428 kasus dengan 44 kematian," ungkap Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, dikutip dari laman resmi Kemenkes.
Leptospirosis bisa menyerang organ vital seperti hati, ginjal, hingga paru-paru. Bila tidak segera ditangani, penyakit ini bisa menyebabkan komplikasi serius, bahkan kematian. Gejala yang muncul bisa berupa, Demam tinggi mendadak, Sakit kepala dan nyeri otot, terutama di betis, Mata merah (konjungtivitis), Mual, muntah, dan diare, Kuning pada kulit dan mata (jika parah), Bisa sampai gagal ginjal atau meningitis. Gejala-gejala ini sering disalahartikan sebagai DBD atau tifus, yang membuat penanganan jadi terlambat.
Sebagian besar kasus terjadi di daerah yang rawan banjir, persawahan, dan lingkungan dengan sanitasi buruk. Aktivitas seperti berkebun, bertani, atau bekerja di sawah tanpa alat pelindung meningkatkan risiko terpapar leptospirosis.
Selain Jawa Tengah, sejumlah provinsi lain juga melaporkan kasus leptospirosis dalam jumlah yang cukup tinggi. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, wilayah Gunungkidul dan Kulon Progo menjadi daerah yang paling terdampak. Sementara itu, di Jawa Timur, kasus banyak ditemukan di Pacitan dan Tulungagung. Wilayah lainnya yang turut melaporkan kasus leptospirosis adalah Kota Makassar di Sulawesi Selatan serta Tangerang di Provinsi Banten. Di Tulungagung, tiga kasus yang terjadi semuanya berujung kematian, menunjukkan fatalitas penyakit ini jika tidak terdeteksi dini.
Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan leptospirosis adalah keterlambatan diagnosis. Gejala awal yang menyerupai penyakit lain serta minimnya pencatatan medis yang akurat di beberapa fasilitas kesehatan membuat identifikasi penyakit ini menjadi lebih sulit. Banyak klinik dan Puskesmas masih mengandalkan pencatatan manual, sehingga riwayat pasien dan tren penyakit tidak terekam dengan baik. Agar tidak kecolongan dalam mendeteksi penyakit menular seperti leptospirosis, klinik dan fasilitas kesehatan sebaiknya mulai beralih ke sistem Rekam Medis Elektronik (RME) yang terintegrasi dan efisien.
KlinikMe hadir sebagai solusi digital untuk klinik modern, dengan fitur-fitur unggulan yang mendukung deteksi dini penyakit menular. KlinikMe dapat menampilkan 10 besar penyakit terbanyak dari data kunjungan secara real-time, Identifikasi gejala berulang seperti demam, nyeri otot, dan keluhan khas leptospirosis secara sistematis, hingga dapat meihat seluruh riwayat kunjungan dan diagnosa pasien dalam satu tampilan untuk deteksi kecenderungan kasus.
Leptospirosis bukan hanya ancaman saat banjir, tapi juga uji kesiapan sistem layanan kesehatan dalam merespons penyakit menular. Klinik Anda bisa jadi lebih tanggap dan siap menghadapi wabah dengan dukungan RME KlinikMe. dan jadikan sistem klinik Anda lebih aman, modern, dan siap hadapi tantangan kesehatan masa kini.
Stay safe dan tetap waspada!